ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH...

ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH... SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI...
Blog ini berisi share dari berbagai situs yang kami telusuri, yang terkadang kami cantumkan sumbernya, namun juga terkadang tidak kami cantumkan sumbernya karena sesuatu hal, maka kami mohon ma'af jika ada artikel dari blog lain yang kami copy paste disini ternyata tidak kami cantumkan sumbernya.
SEMOGA BERMANFA'AT...

Selasa, 17 Juli 2012

TANGISAN PREMAN

dakwatuna.com – Kereta api rel listrik (KRL) merupakan salah satu alat transportasi andalan bagi rakyat. Termasuk juga aku yang selalu menggunakan KRL jika pulang pergi Bogor – Jakarta. Karena rumah di Jakarta terletak di bilangan Pasar Minggu yang dilalui oleh jalur kereta.
Jadwal pulangku ke Jakarta tidak menentu. Sesukaku saja. Nah sekitar tahun 2005, aku lupa persisnya tanggal dan bulannya, aku pulang pada hari selasa malam naik kereta terakhir ke Jakarta dari bogor. Sesampainya di rumah aku sudah kelelahan dan langsung tertidur, karena besok paginya aku harus berangkat lagi sehabis shalat subuh mengejar kereta pertama yang lewat.

Esoknya rabu, sehabis shalat subuh aku langsung berangkat. Tanpa sarapan, juga belum tilawah. Sesampai di stasiun Pasar Minggu aku langsung mencari posisi yang enak untuk tilawah. Satu-satunya tempat yang enak untuk tilawah ada di tengah. Tempatnya terang kursi panjangnya pun kosong. Namun suasananya kurang enak, karena di sebelah ada sekumpulan orang-orang yang sepertinya masih dalam keadaan mabuk, tercium dari bau mulut mereka yang bau minuman beralkohol. Badan mereka pun bau karena sepertinya sudah beberapa hari tidak mandi.
Tapi aku tidak peduli, tilawah mah tilawah aja ujarku dalam hati. Belum satu halaman aku tilawah, tiba-tiba salah seorang dari mereka berjalan mendekatiku. Sambil menepuk bahuku dengan cukup kencang, dia berkata, ”Yang kenceng bacanya, gua pengen denger”.
Hah.., aku kaget bukan kepalang. Aku pikir tadinya dia tidak suka ketika aku tilawah Qur’an. Ternyata malah nyuruh kencengan. Disuruh baca yang kenceng, ya aku kencengin bacaannya.
Dua halaman aku baca, tiba-tiba aku terkejut kembali. Ya.. ada suara orang menangis. Dan yang lebih kagetnya lagi, ternyata yang menangis adalah preman yang menyuruhku membaca dengan keras. Sungguh, air matanya mengucur deras. Terus terang aku pun tak mengerti ayat apa yang aku baca. Yang aku ingat adalah surat Ali Imran tapi lupa ayat berapa.
Setelah menghabiskan kira-kira setengah juz, aku minta izin kepada preman itu untuk berhenti tilawah. Terus terang mataku cape juga. Dan ia pun mengizinkan. Mulailah ia angkat bicara.
”Eh tahu ga Ustad, suara lu bagus banget tad”, katanya kepadaku.
Dia manggil aku ustadz. Aku berkata dalam hati, masa iya sih.. Ibuku sendiri aja pernah negur ketila aku baca Qur’an, ”Di, kalo ngaji bagusan dikit ngapa lagunya, biar enak didenger.”
Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba ia berkata dengan pernyataan yang mengagetkanku lagi.
”Dulu gua juga sering baca Qur’an kayak lu juga. Waktu gua di pesantren dulu.”
Aku jadi tertarik untuk berbicara dengan dia. Tak kuhiraukan bau alkohol pada mulutnya.
”Mas dulu pernah di pesantren?”, tanyaku.
”Dulu, tapi itu masa lalu”, jawabnya.
”Berarti Mas bisa shalat dong?”, tanyaku lagi.
”Ya bisa.” jawabnya.
Kusuruhnya ia shalat subuh karena memang masih ½ 6 dan belum waktu syuruq.
”Ah, orang kayak gua udah ga pantes lagi shalat, ga mungkin diterima pahalanya.” ujarnya.
”Ya jangan gitu Mas, Allah kan Maha Pengampun. Ayo Mas shalat dulu, masih ada waktu ko. Yuk saya anter ke musholla?”.
”Udah ga usah, besok aja shalatnya”, sergahnya menghindar.
Entah kenapa, seperti hilang rasa takutku sama preman yang satu ini. Aku, biasanya suka menghindar untuk mencari aman, tiba-tiba merasa nyaman bersama seorang preman. Orang-orang pun mungkin merasa heran melihat aku, yang saat itu mengenakan baju koko dengan jaket partai dakwah, ngobrol akrab dengan seorang preman berpakaian kotor, bau dan mulut bau alkohol.
Sedang asyik ngobrol akhirnya kereta yang ditunggu pun datang. Kami bertiga, dia dan satu orang temannya, naik bersamaan. Aku duduk di kursi samping pintu, dia dan temannya duduk di pintu kereta. Obrolan pun kita lanjutkan. Kembali orang-orang di kereta memperhatikan aku. Mungkin dalam hatinya bertanya, “ni orang dah gila kali ya, orang mabok diajak ngobrol. Gimana ga aneh, mas kita yang satu ini bikin ulah di kereta. Tiap orang ditanyain sama dia mengenai sholawat nabi. ‘eh lu pernah bersholawat ga?’” Begitu pertanyaannya ke setiap orang yang ada di gerbong. Mungkin dia masih ingat dengan masa-masa pesantrennya.
Mendekati stasiun Citayam dia meminta pamit kepadaku.
“Ustad gua mau turun nih. Do’ain gua ya biar bisa kayak dulu lagi.”
”Oiya, pasti”, jawabku meyakinkan dia.
”Tad, ntar lu kalo dah sampe Bogor, do’ain gua ya di mesjid empang. Di depan makam kramat.”
”Oh..”, gumamku. Di bogor memang ada mesjid yang dianggap keramat, karena ada makam yang sudah tua. Entah aku juga ‘gak tahu makam siapa. Kabarnya seorang habib kesohor di Bogor. Entahlah.
Permintaan yang berat, tapi tidak aku iyakan. Aku hanya tersenyum.
”Mas kapan kita bisa ketemu lagi?”, tanyaku padanya.
”Lu ga usah cari gua, biar gua aja yang cari lu ustad.” jawabnya.
”Oiya mas, saya pulang tiap selasa.”
”Ok, jangan lupa do’ain gua di mesjid empang.”
”Mas Ali janji ya kalo kita ketemu, Mas Ali harus sudah berubah!”, pintaku padanya.
Dengan mantap ia jawab, ”Insya Allah”.
Puas hatiku mendengarnya.
Mas Ali, itulah nama yang ia perkenalkan kepadaku. Entah apa nama aslinya atau lengkapnya. Sama persis dengan surat yang kubaca yang membuat ia menangis. Ingin rasanya bertemu dengan Mas Ali – Mas Ali yang lain.
Maafin aku Mas, aku ga pernah mendo’akan kamu di mesjid empang itu.
Maafin aku Mas, kini aku jarang pulang dengan kereta lagi.
Moga Allah meridhoimu dan memberikan hidayah kepadamu.
Sungguh aku merindukanmu karena Allah.
Bogor, Al Ghifari, Sabtu, 3 rajab 1430 H/ 27 juni 2009 pukul 01.11 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar